TANTANGAN
PENDIDIKAN DALAM PEMBANGUNAN DEMOKRASI
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas
Mata
kuliah : Ideologi Dan Politik Pendidikan
Dosen
pengampu :
Disusun
Oleh :
Dian Mutiarasari
(08470051)
PRODI
KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2011
BAB. I
PENDAHULUAN
Pendidikan sebagai alat sosialisasi politik adalah kenyataan yang
tidak perlu dipungkiri. Karena itu, dalam konteks budidaya demokrasi di
kalangan masyarakat, pendidikan dapat diharapkan menjadi instrument
mengembangkan kesadaran, serta sikap watak demokratis bagi siswa agar kelak
mereka menjadi masyarakat yang baik.
Oleh
karena itu, untuk membangun kultur demokrasi di masyarakat maka yang pertama
harus dilakukan adalah mengubah orientasi pendidikan yang ditekankan pada
kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab. Kemandirian diperlukan untuk
mengembangkan kepercayaan diri dan sekaligus kesadaran akan keterbatasan
kemampuan individu, sehingga bekerjasama dengan warga lain merupakan keharusan
dalam kehidupan bermasyarakat. Kebebasan memiliki makna perlu dikembangkannya visi
kehidupan yang bertumpu pada kesadaran akan pluralitas masyarakat.
BAB.
II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Pendidikan
1.
Dasar dan Pengertian Pendidikan
a.
Dasar
Pendidikan
Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.[1]
b.
Pengertian
Pendidikan
Istilah
pendidikanberasal dari bahasa Yunani, Paedogogy, yang mengandung makna
seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar pelayan. Sedangkan pelayan
yang mangantar dan menjemput dinamakan paedagogos. Dalam bahasa Romawi,
pendidikan diistilahkan dengan educate yang berarti mengeluarkan sesuatu
yang berada di dalam. Dalam bahasa Inggris pendidikan diistilahkan to
educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual (Noeng
Muhadjir, 2000: 20-21).
Banyak pendapat
yang berlainan mengenai pendidikan. John Dewey (1950: 89-90) mamandang bahwa
pendidikan sebagai sebuah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman agar lebih
bermakna, sehingga pengalaman tersebut dapat mengarahkan pada pengalaman yang
akan didapat berikutnya.[2]
Beliau memandang bahwa pendidikan adalah suatu proses pengalaman. Sedangkan
menurut Ki Hajar Dewantara (1977:20) menyatakan bahwa pendidikan merupakan
tuntutan bagi pertumbuhan anak-anak. Artinya pendidikan menuntut segala
kekuatan kodrat yang ada pada diri anak-anak, agar mereka sebagai manusia
sekaligus sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya. Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi
pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual), dan tubuh anak untuk
memajukan kehidupan anak didik selaras dengan dunianya.[3]
Di dalam UU No. 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan
yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara” [4]
2.
Komponen Pendidikan
a.
Tujuan
Tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh
kegiatan pendidikan. Tujuan pendidikan menurut jenisnya, terbagi dalam beberapa
jenis, yaitu tujuan nasional, institusional, kurikuler dan instruksional.
Tujuan nasional adalah tujuan pendidikan yang inin dicapai oleh suatu bangsa;
Tujuan institusional adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai suatu lembaga
pendidikan; tujuan kurikuler adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh
suatu mata pelejaran tertentu; dan tujuan Instruksional adalah tujuan
pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu pokok atau sub-pokok bahasan tertentu.
b.
Peserta
didik
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan
potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan
jenis pendidikan tertentu.
c.
Pendidik
Pendidik adalah orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain
untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi. Dengan kata lain,
pendidik adalah orang yang lebih dewasa yang mampu membawa peserta didik kearah
kedewasaan.
d.
Alat
Alat pendidikan adalah hal yang tidak saja membuat kondisi-kondisi
yang memungkinkan terlaksananya pekerjaan mendidik, tetapi juga mewujudkan diri
sebagai perbuatanatau situasi yang membantu pencapaian tujuan pendidikan.
e.
Lingkungan/milieu
Lingkungan pendidikan adalah lingkungan yang melingkupi terjadinya
proses pendidikan. Lingkungan pendidikan meliputi lingkungan keluarga, sekolah
dan masyarakat.
3.
Fungsi dan Tujuan Pendidikan
a.
Fungsi
Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa.
b.
Tujuan
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik,
luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Tujuan pendidikan disini
bersifat normative, yaitu mengandung unsure norma yang bersifat memaksa, tetapi
tidak bertentangan dengan hakikat perkembangan peserta didik serta dapat
diterima oleh masyarakat sebagai nilai hidup yang baik.[5]
Menurut John Locke (1632), tujuan akhir pendidikan ialah
kebahagiaan dan kesejahteraan bangsa. Sedangkan pendidikan nasional bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
B.
Hakikat Demokrasi
Demokrasi
berasal dari bahasa Yunani, “Demos” berarti rakyat atau penduduk suatu tempat
dan “Cratos” yang berarti pemerintahan. Jadi, demokrasi adalah suatu bentuk
pemerintahan dengan kekuasaan ditangan rayat.[6]
Pemerintahan
ditangan rakyat mengandung pengertian tiga hal:
1.
Pemerintah
dari rakyat (government of the people), mengandung pengertian bahwa suatu
pemerintahan yang sah adalah suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan
dukungan mayoritas rakyat melalui mekanisme demokrasi, pemilihan umum.
Pengakuan dan dukungan rakyat bagi suatu pemerintahan sangatlah penting, karena
dengan legitimasi politik tersebut pemerintah dapat menjalankan roda birokrasi
dan program-programnya sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat
kepadanya.
2.
Pemerintahan
oleh rakyat (government by the people), memiliki pengertian bahwa suatu
pemerintahan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat, bukan atas dorongan
pribadi, elit, Negara ataupun elit birokrasi. Selain itu mengandung pengertian
bahwa dalam menjalankan kekuasaannya, pemerintah berada dalam pengawasan rakyat
(social control). Pengawasan dilakukan secara langsung maupun tidak langsung
oleh rakyat melalui wakilnya di parlemen. Dengan adanya pengawasan para wakil
di parlemen, ambisi otoritarianisme dari para penyelenggara Negara dapat
dihindari.
3.
Pemerintahan
untuk rakyat (government for the people), mengandung pengertian bahwa kekuasaan
yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk kepentingan
rakyat. Kepentingan rakyat umum harus dijadikan landasan utama kebijakan sebuah
pemerintahan yang demokratis.
Demokrasi
adalah proses yang masyarakat dan Negara berperan di dalamnya untuk membangun
kultur dan sistem kehidupan guna menciptakan kesejahteraan, menegakkan
keadilan, baik secara social, ekonomi, maupun politik. Dengan kata lain, bicara
demokrasia adalah juga bicara tentang mentalitas bangsa.
Aktualisasi
demokrasi harus dilakukan melalui upaya-upaya bersama yang berorientasi pada
perwujudan masyarakat Indonesia yang demokratis, toleran, dan konpetitif.
Tuntutan gelombang demokrasi menuju masyarakat yang terbuka dan toleran
merupakan peluang bagi bangsa Indonesia untuk ambil bagian dalam pembangunan
peradaban dunia yang lebih terbuka dan manusiawi. Keterlibatan ini dapat
dilakukan melalui cara-cara pengembangan budaya demokrasi dalam kehidupan
sehari-hari melalui pendidikan.[7]
C.
Kontribusi Pendidikan dalam Pembangunan Demokrasi
Untuk
membangun demokrasi dalam struktur masyarakat diperlukan adanya pendidikan
demokrasi yang akan memberikan kontribusinya bagi pengembangan demokrasi di
Indonesia. Menurut Kartini Kartono, demokrasi pendidikan adalah semua pihak
yang berkepentingan dengan pendidikan yang diharapakan dapat berpartisipasi
dalam penentuan kebijakan pendidikan. Jadi, demokrasi pendidikan lebih bersifat
politis karena menyangkut kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan
ditingkat nasional.
Pendidikan
yang demokratis tidak saja terbatas pada system yang berjalan dalam
institusi-institusi pendidikan itu sendiri. Proses pemerataan pendidikan pun
sebagai bagian dari komitmen demokrasi.
Pendidikan
dapat menjadi salah satu upaya strategis pendemokrasian bangsa Indonesia,
khususnya di kalangan generasi muda. Pendidikan yang dimaksud adalah model
pendidikan yang berorientasi pembangunan karakter bangsa melalui pembelajaran
yang menjadikan peserta didik sebagai subjek pembelajaran melalui cara-cara
pembelajaran yang demokratis, partisipatif, kritis, kreatif dan menantang
aktualisasi diri mereka. Proses belajar tidak lagi menjadi monopoli dosen
maupun guru, tetapi menjadi milik bersama dan menjadikan proses belajar sebagai
wadah untuk dialog dan belajar bersama.[8]
Pendidikan
yang bersifat demokratis, harus memiliki tujuan menghasilkan lulusan yang mampu
berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan mampu mempengaruhi pengambilan
keputusan kebijakan public. Dengan kata lain, pendidikan harus mampu menanamkan
kesadaran dan membekali pengetahuan akan peran warga dalam masyarakat yang
demokratis. Selain itu pendidikan demokratis juga bertujuan mempersiapkan warga
masyarakat berfikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktifitas
menanamkan pada generasi baru pengetahuan dan kesadaran akan tiga hal. Pertama,
Demokrasi adalah bentuk kehidupan bermasyarakat yang paling menjamin hak-hak
warga masyarakat itu sendiri. Kedua, demokrasi adalah suatu learning
proces yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Ketiga,
Kelangsungan demokrasi tergantung pada keberhasilan mentransformasikan
nilai-nilai demokrasi: kebebasan, persamaan dan keadilan serta loyal kepada
system politik yang bersifat demokratis. Dengan demikian, pembangunan demokrasi
akan dapat terwujud.[9]
D.
Tantangan Pendidikan Dalam Pembangunan Demokrasi
Demokrasi
dapat tercipta bila masyarakat membangun kesadaran sendiri tentang pentingnya
demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Sebaliknya,
Negara sebagai instrument politik dan ekonomi suatu bangsa juga harus memiliki political
will untuk mendukung terwujudnya demokrasi. Hal ini dapat dilakukan dalam
bentuk perbaikan kebijakan dalam berbagai aspek.
Proses
demokrasi yang kita alami sekarang ini mengalami carut-marut ketika sebagian komponen
bangsa memahami demokrasi melalui perilaku anarkis yang dipertontonkan secara
nyata akhir-akhir ini. Perilaku tokoh-tokoh politik yang seharusnya memberikan
tauladan berdemokrasi justru melakukan acrobat politik yang kadangkala membuat
kita miris. Kenyataan demikian menyebabkan situasi demokrasi ini semakin
meluncur dan terpuruk dalam situasi yang tidak karuan bahkan Negara ini seperti
tidak bertuan dibuatnya. Barangkali demokrasi yang baru seumur jagung ini belum
dipahami dan dipraktekan secara nyata, baru sebatas utopia semu. Demokrasi
selamanya memerlukan kompi-kompi democrat dalam teori dan praktek.
Satu
hal yang perlu disayangkan pula, pendidikan acap kali ditempatkan sebagai
sesuatu yang hanya bertali-temali dengan transfer of knowledge dan area
induktrinasi, padahal sesungguhnya pendidikan lebih dari itu. Disamping sebagai
aktifitas transfer of knowledge, pendidikan juga merupakan media dan aktifitas
membangun kesadaran, kedewasaan, dan kemandirian peserta didiknya.
Kesadaran, kedewasaan dan kemandirian itulah yang menjadi tujuan pendidikan.
Disisi lain, melelui pendidikan pula proses penciptaan mentalitas dan kultur
demokrasi suatu masyarakat dapat dilakukan. Sistem pendidikan yang dianut suatu
bangsa akan mencerminkan mentalitas dan perilaku para pengambil kebijakannya.[10]Realitas
sejarah di Indonesia telah menunjukkan betapa institusi pendidikan dijadikan
“alat melanggengkan kekuasaan”. Implikasi semua itu adalah hilangnya
profesionalisme dan independensi institusi pendidikan dari konteksnya dari
institusi yang mencerdaskan dan membebaskan.
Selain
itu pendidikan saat ini telah disubordinasikan untuk kepentingan pasar.
Dampaknya orientasi pendidikan hanya sekedar menjadi pawang atau mentor.
Pendidikan hanya berusaha bagaimana membekali siwa dengan rumusan-rumusan
teoritis belaka. Siswa bukan hanya diajak berproses menjadi manusiawi tetapi
menjadi objek an sich.[11]
Pendidikan,
baik lembaga penyelenggara maupun pandangan sebagian kecil orang berada, lantas
menjadi mekanistis karena hanya semata-mata mengejar kepentingan “uang” belaka.
Uang menjadi segala-galanya. Dan demi itu semua anak didik digagalkan
memperoleh pendidikan yang luhur yakni membentuk manusia yang memiliki
kecerdasan dan berbudi luhur. Jika pendidikan lantas terjerumus kedalam jurang
bisnis, maka akan berlaku siapa yang memiliki uang dia bisa membeli pendidikan.
Akibatnya anak yang miskin tak pernah dipertimbangkan untuk memperoleh sekolah
yang bermutu. Sepertinya anak miskin juga di stimagsikan sebagai orang yang
dibuang dari struktur masyarakat.
Sistem
pendidikan modern sudah berhasil menindas kaum miskin agar mereka tak mampu
hidup lebih madiri. Sistem pendidikan di negri ini lebih berpola pada”
pendidikan model anjing”. Model pendidikan tersebut bakalan kepatuhan, sistem
komando, sistem subordinasi dan sistem militeristik. Siswa bukan dijadikan subjek
yang mandiri melainkan sebagai objek kepatuhan sang guru. Siswa yang patuh akan
memperoleh hadiah sedangkan siswa yang
kritis yang mempertanyakan ketidakwajaran harus dibungkam dan dihukum.
Seharusnya pendidikan mampu memerdekakan seseorang dari ketergantungan kuasa
modal dan subordinasi kekuasaan. [12]
Pendidikan
yang memerdekakan berpola layaknya “ayam yang mengajari ayam mengenal realitas
kehidupan”. Induk ayam mendidik anak-anaknya dari dan untuk kehidupan itu
sendiri, anak ayam dibiarkan mencari makan secara mandiri sedangkan induknya
mengawasi. Pola ini menuntut guru menjadi teman atau rekan bermain anak
didiknya bukan sebagai komandan yang setiap perintahnya harus dituruti. Guru
bukan lagi figure yang harus ditakuti tetapi hendaknya menjadi mitra siswa yang
dicintai. Dengan demikian paradigma pendidikan hendaknya berubah. Guru bukan
menjadi satunya pusat satu kebenaran tetapi kebenaran harus dicari
bersama-sama. Pendidikan seperti ini dalam bahasa Faire adalah pendidikan yang
terkait dengan realitas pendidikan. Kenyataannya, di negri ini pendidikan lepas
dari realitas pendidikan, ini membuat lulusan sekolah kita tak mampu berinovasi
dan berkreasi karna pendidikan hanya memperoleh ijasah dan gelar bukan proses
yang membawa pada kemerdekaan dan pencerahan.
Oleh
karena itu perwujudan sistem pendidikan yang demokratis sudah menjadi
keniscayaan yang harus disikapi secara positif oleh seluruh komponen yang
terlibat didalamnya. Apakah itu kebijakan pemerintah, institusi pendidikan
maupun oleh orang yang terlibat didalamnya. Karena bagaimanapun sebagai sebuah
sistem, sekolah memperlibatkan banyak pihak. Baik yang berkaitan dengan
persoalan manajemen dari unsure maupun
profesionalitasnya. Diharapkan pendidikan bebas dari unsur kepentingan.
Sebaiknya yang perlu ditekankan disini yaitu peningkatan sistem pendidikan di
Indonesia agar dapat menempatkan dirinya secara independen atau paling
sedikitnya tidak banyak dicampurtangani oleh penguasa untuk melanggenkan
kekuasaannya. Yang penting disini adalah proses membangun pendidikan untuk
demokrasi, bagaimanapun, batasan intelek pendidikan, kesadaran politik dan
mentalitas serta kultur demokrasi adalah setipis kulit bawang.
Pendidikan
yang demokratis tidak terpaku oleh pola tertentu, dalam pengertian bahwa
prinsip-prinsip demokrasi dapat ditanamkan sedini mungkin dalam sistem
pendidikan kita seperti kebebasan berpendapat membangun tradisi ilmiah yang
progresif dan objektif, kultur dialog dsb. Tanpa itu jangan kita berharap bahwa
institusi- institusi pendidikan kita akan menghasilkan generasi yang cerdas,
mandiri dan demokratis sebaliknya yang muncul adalah generasi yang selalu
gamang dengan keadaan, tidak siap menyongsong masa depan di era yang sangat
kompetitif, mandul dalam berkarya, dan parahnya generasi yang tidak merdeka
dengan generasinya sendiri. [13]
Pendidikan
yang demokratis tidak hanya terbatas pada sistem yang berjalan dalam institusi-
institusi pendidikan itu sendiri. Dalam konteks ini proses pemerataan
pendidikan sebagai bagian dari komitmen demokrasi itu sendiri harus
diselesaikan di tingkat kebijakan sejak awal mula.
Di
Indonesia demokrasi belum sepenuhya
menjadi kesadaran dan mentalitas.
Perilaku politik sebagian kader partai sesekali nampak perilaku tak berpendidikan.
Juga sikap masyarakat tentang kebebasan dan toleransi antara umat beragama yang
ternyata masih jauh dari api demokratis. Bagitu pula timbulnya kekerasan
politik yang terjadi di masyarakat untuk menyelasaikan masalah, seperti
menganggap perbedaan sebagai konflik, berperilaku anarkis sebagai sebuah
gambaran demokrasi di Negara kita.[14]
Kenyataan ini sesungguhnya bisa dimaklumi karena warisan masa lampau baik orde
lama maupun orde baru yang tidak mendukung adanya proses demokrasi, dan juga
kurangnya andil pendidikan dalam menyemaikan kultur demokrasi, bahkan
pendidikan yang diharapkan memberikan kontribusi bagi tumbuhnya kultur
demokrasi dijadikan alat memberantas demokrasi.
Peranan
pendidikan yang sesungguhnya diharapkan dapat menciptakan kultur demokrasi di
masyarakat dengan melalui internalisasi nilai- nilai demokrasi di sekolah.
Pendidikan diharapkan menjadi obat penyembuhan dari penyakit-penyakit yang
diderita masyarakat seperti yang telah dipaparkan diatas.
Guna
membangun masyarakat yang demokratis diprlukan pendidikan agar warganya tidak
sekedar mampu membaca dan berhitung. Warga masyarakat perlu memahami fungsi
pemerintahan yang demokratis sesuai dengan konstitusi dan memahami konsep
operasional pasar bebas. Sebab kekuatan suatu bangsa terletak pada kemampuan
warganya untuk mengambil keputusan secara rasional. Kadar pemahaman warga atas
fungsi pemerintahan dan konsep pasar bebas akan menentukan derajat rasionalitas
keputusan yang diambil.
Dalam
kaitan dengan pendidikan, diharapkan pendidikan ekonomi ditekankan pada upaya
memfasilitasi peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan untuk
mengambil keputusan individual dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
bersama.
Sekolah
memiliki tanggung jawab melengkapi peserta didik dengan kemampuan memerankan
fungsinya sebagai anak bangsa di lingkungan masyarakat yang demokratis. Lebih luas
dan mendasar dari itu semua, sekolah memiliki tanggung jawab utama untuk
mengembangkan pengetahuan dan kemampuan peserta didik guna berpartisipasi dalam
membangun masyarakat yang lebih baik.
Keberlangsungan
dan keberhasilan pendidikan demokrasi memerlukan reformasi di bidang
pendidikan. Reformasi yang diperlukan adalah berkaitan dengan kebebasan
akademik, kebhinekaan pendidikan, dan perombakan materi civic/kewarganegaraan.[15]
Jhon
Dewey menyatakan bahwa kebebasan akdemik diperlukan guna mengembangkan prinsip
demokrasi di sekolah yang bertumpu pada interaki dan kerjasama, berdasarkan
pada sikap saling menghormati dan memperhatikan satu sama lain, berpikir
kreatif, menemukan solusi atas problem yang dihadapi bersama, dan bekerja sama
untuk merencanakan dan melaksanakan solusi. Hal ini berarti sekolah yang
demokratis harus mendorong dan memberikan kesempatan semua siswa untuk aktif
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan merencanakan kegiatan dan
melaksanakan rencana tersebut.
Bhineka
tunggal ika merupakan manifestasi kebinekaan dalam kehidupan masyarakat
Indonesia, termasuk didalamnya adalah kehidupan pendidikan. Pendidikan
kebhinekaan menghargai dan mengakomodasi perbedaan latar belakang seseorang
yang menyangkut nilai, budaya, social, ekonomi bahkan perbedaan dalam
kemampuan.
Sekolah
pada zaman orde baru berupaya menciptakan bentuk perilaku politik tertentu,
dengan mengimplementasikan kurikulum kewarganegaraan yang mendasarkan pada
disiplin yang kaku dan bersifat induktrinatif oleh karena itu reformasi
pendidikan kewarganegaraan mutlak diperlukan, materi kewarganegaraan ditekankan
pada empat aspek yang meliputi: aspek sejarah asal mula demokrasi dan
perkembangannya, perkembangan demokrasi di Indonesia, jiwa demokrasi dalam
pancasila dan UUD 1945 dan tantangan demokrasi dalam era modern.[16]
Dengan
demikian dapat terlihat betapa pentingnya peran pendidikan di sekolah untuk menumbuhkan
dan membangun nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain reformasi ketiga hal tersebut diatas, untuk menumbuhkan nilai-nilai
demokrasi yang sekian lama terbelenggu oleh berbagai macam problematika yang
ada, juga diperlukan hal-hal sebagai berikut:
1.
Sosialisasi
nilai-nilai demokrasi
Sosialisasi tersebut dilakukan baik dalam pendidikan formal ataupun
non formal untuk seluruh kalangan masyarakat. Sosialisasi nilai-nilai demokrasi
tersebut dapat terjadi dalam lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat
melalui peran dari pihak-pihak terkait seperti; guru, orang tua, teman/rekan
dan juga media masa. Dengan demikian, nilai-nilai demokrasi akan tertanam dalam
benak anak bangsa.
2.
Peningkatan
kualitas guru
Guru memiliki peranan penting dalam proses sosialisasi nilai-nilai
demokrasi, terutama pada jenjang pendidikan sekolah dasar. Siswa senantiasa
menunjukkan bahwa nilai-nilai yang ia yakini dan bahkan perilakunya adalah
sesuai dengan apa yang dikatakan gurunya. Guru menjadi sumber bagi nilai-nilai
dan perilaku yang demokratis. Sedangkan pengaruh guru dalam sosialisasi
nilai-nilai demokrasi dalam tingkat sekolah menengah sangat ditentukan oleh
kredibilitas guru itu sendiri. Kalau dimata murid merupakan sosok yang dapat
dipercaya, mampu dan dapat dijadikan sebagai model bagi para siswa maka pengaruh
guru sangat besar.
3.
Perbaikan
kurikulum
Pengaruh kurikulum cukup besar dalam menanamkan pengetahuan tentang
demokrasi. Kurikulum harus bersifat fleksibel dan elastic, sehingga terbuka
kesempatan untuk memberikan bahan pelajaran yang penting dan perlu bagi anak
didik. Kurikulum harus memuat nilai-nilai demokrasi didalam materinya. Elastisitas
kurikulum disesuaikan dengan perubahan social yang terjadi. Sedangkan tujuan spesifik
dari kurikulum adalah menumbuhkan rasa toleransi, kesanggupan untuk berfikir
sederhana dan mengikis prasangka dalam memberikan pertimbangan nilai. Kurikulum
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu kurikulum
disusun dengan mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum, dan suatu teori
kurikulum diturunkan atau dijabarkan dari teori pendidikan tertentu.[17]
4.
Penciptaan
iklim kelas
Dalam proses sekolah yang penting bukan apa materi yang diajarkan ataupun
siapa yang mengajarkan, melainkan bagaimana materi tersebut diajarkan.
Bagaimana guru mengajarkan materi tersebut menimbulkan apa yang disebut iklim
kelas. Iklim kelas yang terbuka dan longgar sangat kondusif untuk
mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi, sebab dengan iklim semacam itu suasana
kelas akan bersifat demokratis sehingga proses belajar akan dinamis.
BAB.
III
KESIMPULAN
Dasar
Pendidikan dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional
adalah berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pengertian
pendidikan dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, “Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan oleh dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara”.
Komponen
pendidikan terdiri dari tujuan, peserta didik, pendidik, alat dan
lingkungan/mileu.
Pendidikan
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan pendidikan
nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Demokrasi
adalah suatu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan ditangan rayat.
Pendidikan
dapat menjadi salah satu upaya strategis pendemokrasian bangsa Indonesia,
khususnya di kalangan generasi muda. Pendidikan yang dimaksud adalah model
pendidikan yang berorientasi pembangunan karakter bangsa melalui pembelajaran
yang menjadikan peserta didik sebagai subjek pembelajaran melalui cara-cara
pembelajaran yang demokratis, partisipatif, kritis, kreatif dan menantang
aktualisasi diri mereka.
Proses
demokrasi yang kita alami sekarang ini mengalami carut-marut ketika sebagian
komponen bangsa memahami demokrasi melalui perilaku anarkis yang dipertontonkan
secara nyata akhir-akhir ini. Perilaku tokoh-tokoh politik yang seharusnya
memberikan tauladan berdemokrasi justru melakukan acrobat politik yang
kadangkala membuat kita miris. Kenyataan demikian menyebabkan situasi demokrasi
ini semakin meluncur dan terpuruk dalam situasi yang tidak karuan bahkan Negara
ini seperti tidak bertuan dibuatnya. Di Indonesia demokrasi belum sepenuhya menjadi kesadaran dan mentalitas. Perilaku politik
sebagian kader partai sesekali nampak perilaku tak berpendidikan. Juga sikap
masyarakat tentang kebebasan dan toleransi antara umat beragama yang ternyata
masih jauh dari api demokratis. Bagitu pula timbulnya kekerasan politik yang
terjadi di masyarakat untuk menyelasaikan masalah, seperti menganggap perbedaan
sebagai konflik, berperilaku anarkis sebagai sebuah gambaran demokrasi di
Negara kita.
Peranan
pendidikan yang sesungguhnya diharapkan dapat menciptakan kultur demokrasi di
masyarakat dengan melalui internalisasi nilai- nilai demokrasi di sekolah.
Pendidikan diharapkan menjadi obat penyembuhan dari penyakit-penyakit yang
diderita masyarakat seperti yang telah dipaparkan diatas.
Untuk
menumbuhkan nilai-nilai demokrasi yang sekian lama terbelenggu oleh berbagai macam
problematika yang ada, juga diperlukan hal-hal seperti; sosialisasi nilai-nilai
demokrasi, peningkatan kualitas guru, perbaikan kurikulum, dan penciptaan iklim
kelas.
DAFTAR
PUSTAKA
Wiji Suwarno, 2006, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Ar-Ruzz
Media, Yogyakarta
H. Zainal Aqib, 2002, Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran,
Insan Cendekia, Surabaya
UU
Sisdiknas, 2009, Citra Umbara, Bandung
Umar Tirtarahardja, S. L. La Sulo, 2005, Pengantar Pendidikan,
Asdi Mahasatya, Jakarta
Abdullah IDI, Toto Suharto, 2006, Revitalisasi Pendidikan Islam,
Tiara Wacana, Yogyakarta
A. Ubaedillah,
dkk, 2006, Demokrasi Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, ICCE UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta
Zamroni,
2001, Pendidikan Untuk Demokrasi, Bigraf
Publishing, Yogyakarta
Benny Susetyo, 2005, Politik Pendidikan Penguasa, LKIS
Pelangi Aksara Yogyakarta, Yogyakarta
Nana
Syaodih Sukmadinata, 2008, Pengambangan Kurikulum Teori Dan Praktek, Remaja
Rosdakarya Offset, Bandung
[1]
Wiji Suwarno, Dasar-dasar
Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006), hal. 31
[2]
Ibid, hal. 20
[3]
H. Zainal Aqib,
Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran, (Surabaya: Insan Cendekia,
2002), hal. 11
[4]
UU Sisdiknas,
(Bandung: Citra Umbara, 2009), hal. 60
[5]
Umar
Tirtarahardja, S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Asdi
Mahasatya, 2005), hal. 37
[6]
Abdullah IDI
& Toto Suharto, Revitalisasi
Pendidikan Islam ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), Hal. 37
[7]
A. Ubaedillah,
dkk, Demokrasi Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE
UIN Syarif Hidayatullah, 2006), Hal. vii
[8]
Ibid, hal. viii
[9]
Zamroni, Pendidikan
Untuk Demokrasi, (Yogyakarta: Bigraf
Publishing, 2001), hal. 17
[10]
Ibid, hal. viii
[11]
Benny Susetyo, Politik
Pendidikan Penguasa, (Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2005),
hal. 117
[12]
Ibid, hal. 120
[13]
Zamroni, Pendidikan
Untuk Demokrasi, (Yogyakarta: Bigraf
Publishing, 2001), hal. x
[14]
Ibid, hal. xiii
[15]
Ibid, hal. 18
[16]
Ibid, hal. 23
[17]
Nana Syaodih
Sukmadinata, Pengambangan Kurikulum Teori Dan Praktek, (Bandung: Remaja
Rosdakarya Offset, 2008), hal. 7