Jumat, 11 Mei 2012

MAKALAH PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DAN ISU DIFABEL

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DAN ISU DIFABEL
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Pendidikan Multikultural
Dosen pengampu : 

Disusun Oleh :
Dian Mutiarasari (08470051)
PRODI KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2010


BAB. I
PENDAHULUAN
Pada hakikatnya manusia tercipta tidak ada yang senpurna. Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Masing-masing orang memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dari perbedaan tersebut diharapkan untuk kita bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada. Dalam pendidikan multicultural ini kita diajarkan untuk tidak mendiskriminasi terhadap orang-orang yang memiliki kemampuan berbeda dengan kita.
Pada kenyataannya dalam masyarakat kita masih sering melihat adanya  pandangan yang negative dan cenderung menganggap rendah terhadap orang-orang yang memiliki keterbatasan dan kemampuan (diffable). Diffabel hanya dianggap sebagai sampah masyarakat yang harus disingkirkan dan dijauhkan dari kehidupan bermasyarakat. Melihat kondisi seperti itu sangatlah dibutuhkan sebuah konsep pendidikan yang didalamnya mengandung nilai-nilai toleransi. Pendidikan multicultural hadir disini diharapkan dapat menghapus sikap diskriminasi yang ada dalam lingkungan social yang beragam ini.
Dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai pendidikan multicultural dan isu diffabel yang ada di dalam masyarakat.


BAB. II
PEMBAHASAN
A.    Konsep Multikultural
Gerakan multicultural muncul pertama kali sekitar tahun 1970-an di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan lain-lain. Dalam multikulturalisme menegaskan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang public sehingga dibutuhkan kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan tanpa memperdulikan perbedaan budaya, atnik, gender, bahasa ataupun agama.
Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan, termasuk perbedaan-perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multicultural.
Multicultural merupakan suatu komsep yang ingin membawa masyarakat dalam kerukunan dan perdamaian, tanpa ada konflik dan kekerasan, meski didalamnya ada kompleksitas perbedaan.[1]
Pinsip multikulturalisme mengajar kepada kita untuk mengakui berbagai potensi dan legitimasi keragaman dan perbedaan sosio-kultural tiap kelompok etnis. Berangkat dari prinsip demikian maka individu maupun kelompok dari berbagai etnik dalam pandangan ini bisa bergabung dalam masyarakat, terlibat daam societal cohesion tanpa harus kehilangan identitas etnis dan budaya mereka, sekaligus tetap memperoleh hak-hak mereka untuk berpartisipasi penuh dalam berbagai bidang kegiatan masyarakat. Sehingga keberagaman budaya yang ada di belakang, di depan dan disekeliling kita bisa memberikan sumbangan yang paling berharga bagi semua orang.
B.     Hakikat Pendidikan Multikultural
Pendidikan multicultural bisa didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global).[2]
Pendidikan multicultural (Multicultural Education) merupakan respons terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multicultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas, pendidikan multicultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata social dan agama. Pendidikan multicultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference), atau politics of recognition (politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas).
Paparan di atas juga member dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Paradigma multicultural secara implisit juga  menjadi salah satu concern dari pasal 4 UU No. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dalam menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai cultural dan kemajemukan bangsa. Sedangkan tujuan utama dari pendidikan multicultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda.
Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multicultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, bernegosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Menurut James A. Banks tujuan pendidikan multicultural adalah pendidikan untuk kebebasan. Pendidikan multikulturalisme dimaksukan untuk membantu para siswa untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan dalam berpartisipasi dalam masyarakat yang bebas dan demokrasi. Pendidikan multicultural mengembangkan kebebasan, kemampuan dan ketrampilan dalam menerobos batas-batas budaya dan etnis dalam berpartisipasi dengan kebudayaan dan kelompok lain.
Nasih menurut James, substansi pendidikan multicultural adalah pendidikan untuk kebebasan (as “education for freedom”) sekaligus sebagai penyebar luasan gerakan inklusif dalam rangka memperoleh hubungan antar sesame (as inclusive and cementing movement). Pendidikan multicultural bersifat antirasis, mendasar, penting (berguna) ntuk semua siswa, pervasive (dapat meresap/menembus/merembes), untuk keadilan social serta merupakan sebuah proses dan pedagogi kritis.
Jika dijabarkan lebih rinci, pendidikan multicultural sekurang-kurangnya memiliki lima tujuan. Pertama, meningkatkan pemahaman diri dan konsep diri secara baik. Kedua, meningkatkan kepekaan dalam memahami orang lain, termasuk terhadap berbagai kelompok budaya di negaranya sendiri dan Negara lain. Ketiga, meningkatkan kemampuan untuk merasakan dan memahami kemajemukan, interpretasi kebangsaan dan budaya yang kadang-kadang bertentangan menyangkut sebuah peristiwa, nilai dan perilaku. Keempat, membuka pikiran ketika merespon isu. Kelima, memahami latar belakang munculnya pandangan klise atau kuno, menjauhi pandangan stereotype dan mau menghargai semua orang.
Kurikulum pendidikan multicultural hendaknya mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, multikulturalisme, kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multicultural dituntut untuk berpegang pada prinsi-prinsip berikut ini:
vPendidikan multicultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif orang banyak.
v  Pendidikan multicultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah
v  Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda
v  Pendidikan multicultural harus mendukung prinsip-prinsip pokok dalam memberantas pandangan klise, tentang ras, budaya dan agama.
Nilai dasar dalam pendidikan multicultural adalah toleransi. Menurut Gay’s, prinsip-prinsip penting dalam menerapkan pendidikan multicultural adalah kurikulum berdasarkan sejarah dan berpusat pada keragaman, berorientasi pada perbaikan, pengajaran mengarah pada keragaman, kurikulum tegantung pada konteks, bersifat menyerap keragaman dan dapat diterapkan secara luas dan bersifat komprehensif dan mencakup semua level pendidikan. Jadi, isi dari pendekatan, dan evaluasi kurikulum harus menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif. Isi dan bahan ajar di sekolah perlu dipilih yang sungguh menekankan pengenalan dan penghargaan terhadap budaya dan nilai lain.
Sesuai prinsip pendidikan multicultural, maka aktivitas pembelajaran di sekolah disarankan untuk memberi perhatian pada kompleksitas dinamis dari berbagai factor yang mempengaruhi interaksi manusia, seperti fisik, mental, kemampuan, kelas, gender, usia, politik, agama dan etnisitas.
Pendidikan multicultural biasanya mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
·         Tujuannya membentuk “manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”
·         Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (cultural)
·         Metodenya demokratis, yang menghargaiaspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis)
·         Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
C Diffable
Istilah difabel (akronim dari different able people) yang secara bahasa berarti “orang dengan kemampuan berbeda” merupakan istilah baru pengganti istilah “penyandang cacat” yang selama ini banyak digunakan.[3] Istilah ini mencoba keluar dari konotasi negative dan stigma yang selama ini tidak dapat dihindari dari penggunaan istilah cacat. Disamping itu, istilah difabel juga mengakomodasi keyakinan bahwa Tuhan telah menciptakan setiap hambanya dalam bentuk yang paling sempurna. Dalam hal penciptaan manusia Allah tidak membeda-bedakan bentuk tubuh manusia, seperti pada Q.S At-Tin,95:4
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OƒÈqø)s? ÇÍÈ
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (Q.S At-Tin, 95:4)
 Dalam “The Social Model of Disability” (Barnes, 1996), dan “Bio Psycho Social Model of Disability” (WHO, 2000), istilah difabel secara bebas dapat didefinisikan sebagai “seseorang dengan perbedaan kemampuan fisik atau mental, yang atas interaksinya dengan factor individu lainnya serta berbagai factor lingkungan social, mengalami hambatan yang signifikan untuk dapat beraktifitas sebagaimana layaknya, yang selanjutnya menghambat partisipasi sosialnya dalam konteks yang lebih luas”.
Seseorang yang lahir dalam keadaan cacat fisik maupun mental sering diidentikkan dengan orang yang mendapat hukuman dari Tuhan atau hukuman karma dari apa yang telah orang tuanya lakukan. Pendapat tersebut terus berkembang dalam masyarakat cultural, sehingga mengakibatkan masyarakat cultural akan menjauhi diffabel karena khawatir keturunannya akan mengalami hal yang sama yaitu lahir dengan kondisi yang tidak normal.
Seiring dengan proses sejarah konstruksi social yang panjang terhadap diffable melahirkan stigma masyarakat bahwasannya diffabel merupakan individu yang tidak “normal” dan tidak mampu menjalankan kehidupannya didalam masyarakat. Seseorang yang dianggap “tidak normal” mendapatkan berbagai macam bentuk diskriminasi di dalam masyarakat.
D.    Problematika Diffable
Berikut beberapa masalah yang bercorak diskriminatif yang sering dialami oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan berbeda;
a.       Masalah pendidikan
Dalam hal pendidikan, banyaknya anak-anak difabel yang tidak tertampung pada sekolah, baik itu SLB maupun sekolah umum, jelas berkorelasi terhadap system pendidikan yang diberlakukan. Sistem segregasi seperti yang diterapkan dalam bentuk sekolah luar biasa (SLB), terbukti mempunyai banyak keterbatasan, yang diantaranya adalah jarak/lokasi yang jauh dari tempat tinggal anak, biaya operasional dan penyelenggaraan yang mahal, serta jarang disediakan tempat tinggal/asrama bagi siswa. Keterbatasan tersebut dengan sendirinya telah menyebabkan tingkat kesulitan yang tinggi bagi anak difabel untuk dapat bersekolah di sekolah-sekolah luar biasa. Belum lagi kalau berbicara tentang kurikulum, kualitas pembelajarannya dan kualitas lulusannya. Hingga sekarang ini, lulusan sekolah luar biasa tidaklah dihargai sebagaimana lulusan sekolah-sekolah umum yang sederajat.
b.      Masalah akses lapangan kerja
Sampai saat ini, akses difabel pada lapangan kerja formal masih belum sepenuhnya terbuka. Dalam banyak kasus yang SIGAB (Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel) temui sepanjang tahun 2003 – 2009, persyaratan pada dunia kerja formal masih belum berpihak pada difabel. Persyaratan seperti sehat jasmani, yang diartikan sebagai tidak cacat/difabel, yang sebenarnya tidak selalu berkait dengan kompetensi kerja yang dibutuhkan, seringkali menjadi alasan untuk menolak difabel memasuki dunia kerja. Hal ini terjadi baik di lingkungan pemerintahan (pegawai negeri) maupun di lingkungan swasta.
Sedangkan pada sector dunia kerja/usaha non formal, program-program pengembangan usaha yang ada dirasa tidak mampu menjawab kebutuhan difabel. Sulitnya akses financial seperti kredit usaha, penguatan modal, serta akses pengembangan usaha seperti pemasaran dan lain-lain, masih menjadi kendala utama bagi kelompok difabel yang bergerak di dunia usaha kecil.
c.       Masalah kesehatan
Disadari bahwa kesehatan merupakan hak dasar warga Negara. Artinya, dalam kondisi dimana seorang warga Negara tidak mampu mengupayakannya, maka sudah menjadi kewajiban Negara untuk memenuhinya. Sebuah langkah maju adalah bahwa pada saat sekarang ini, telah ada beberapa skema jaminan kesehatan yang diselenggarakan untuk rakyat seperti JAMKESMAS, JAMKESSOS dan JAMKESDA. Namun, dari pengalaman yang dirasakan oleh diffabel, jaminan-jaminan kesehatan tersebut ternyata tidak mampu menjawab kebutuhan kesehatan diffabel. Salah satu masalahnya adalah terbatasnya item-item obat dan treatment yang ditanggung, sementara penyakit yang melanda tidak pernah mau peduli apakah yang menyandangnya orang miskin atau kaya.
d.      Masalah aksesibilitas fisik
Sampai sejauh ini, perhatian pemerintah terhadap terpenuhinya aksesibilitas fisik yang meliputi bangunan-bangunan dan sarana publik seperti kantor-kantor pelayanan masyarakat, rumah sakit, kendaraan umum dan fasilitas umum lainnya masih belum jelas terlihat. Meski beberapa peraturan telah memayungi hal tersebut seperti KEPMEN PU No 468, bahkan, di salah satu kabupaten di DIY telah ada PERDA no 12, tahun 2002, namun pelaksanaannya belum terlihat. Bahkan pada bangunan-bangunan dan sarana-sarana umum yang baru sekalipun, prinsip-prinsip aksesibilitas masih belum diimplementasikan sebagaimana mestinya. Tentu, diyakini bahwa kita sudah melewati masa untuk mempertanyakan sejauh mana pentingnya hal tersebut bagi difabel dan kelompok rentan fisik lainnya seperti lansia, ibu hamil dan anak-anak, sehingga yang lebih penting didiskusikan adalah upaya-upaya untuk merealisasikan hal tersebut pada tataran praktis.
E.     Pendidikan Multikultural dan Isu Diffable
Perbedaan kemampuan yang ada pada orang-orang yang mempunyai kemampuan berbeda (diffable) adalah bagian dari multicultural. Jika kita melihat lebih jauh, keterbatasan kemampuan seseorang tidak terlepas pada ketidaksempurnaan fisik atau mental saja, namun setiap orang cenderung memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu. Setiap individu yang dinyatakan sehat fisik secara medis masih saja mempunyai perbedaan kemampuan fisik (kelemahan-kelemahan fisik). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa perbedaan kemampuan ini ada pada semua orang, terlepas apakah dia diffable atau non-diffable.
Bagi individu yang sehat secara fisik atau non-diffable, perbedaan kemampuan yang ada pada dirinya tidak terlalu kelihatan. Mereka dapat melakukan kegiatan seperti melihat, memegang, berjalan, berlari dan berbagai aktivitas lain sebagaimana umumnya orang sehat. Akan tetapi kalau kita perhatikan dengan cermat, kemampuan mereka pada prinsipnya berbeda-beda.
Selain perbedaan kemampuan secara fisik, perbedaan kemampuan lain yang sering luput dari perhatian kita adalah perbedaan kemampuan non-fisik pada seseorang, seperti gangguan mental dan tingkat kecerdasan rendah.
Adanya perbedaan kemampuan tersebut bukan tidak mungkin dapat menyebabkan timbulnya diskriminasi dan pengurangan hak-hak individu atas yang mempunyai kemampuan berbeda (diffable). Dengan demikian, kondisi tersebut akan memberikan hambatan bagi mereka untuk menjalankan aktifitasnya dalam kehidupan sehari-hari. Atau paling tidak untuk turut berpartisipasi dalam beberapa bidang kehidupan yang lebih khusus, seperti berpartisipasi dalam kegiatan politik, social dan ekonom. Minimnya fasilitas khusus seperti idak ada jalan atau tangga khusus untuk kursi roda pada gedung-gedung public dan tempat duduk khusus dalam kendaraan umum bagi para manula, penyandang cacat, balita, dan ibu hamil adalah contoh dan bukti dari kurangnya perhatian dan perlindungan terhadap mereka untuk memperoleh hak yang sama dalam memjalani aktivitas kesehariannya.
Kenyataan seperti itu harus mendapat perhatian serius dari semua kalangan baik pemerintah maupun masyarakat umum. Karena kalau tidak, mereka akan benar-benar kehilangan hak-haknya sebagai warga Negara dan sebagai menusia. Rendahnya perhatian masyarakat umum dan pemerintah kita terhadap hak-hak mereka disebabkan oleh minimnya wawasan, kesadaran dan pengetahuan kita terhadap hak-hak mereka. [4]Oleh kerena itu perlu adanya penanaman oemahaman terhadap masyarakat bahwa sebagai manusia dan warga Negara mereka harus mendapat perhatian, perlindungan dan pelayanan yang sama dengan yang lain. Langkah ini bisa dilakukan melalui pemberian informasi melalui media, kampanye kemanusiaan dan akan lebih baik lagi apabila dapat dilakukan sejak didni melalui bangku sekolah dasar hingga tingkat perguruan tinggi.
Berkaitan dengan hal tersebut, pendidikan multicultural perlu memberikan adanya upaya-upaya untuk menumbuhkan pemahaman dan sikap siswa agar selalu menghormati, menghargai dan melindungi hak-hak orang lain yang mempunyai perbedaan kemampuan. Upaya ini dapat dilakukan apabila seorang guru atau dosen mempunyai wawasan yang cukup tentang bagaimana menghadapi dan menghormati orang lain yang mempunyai kemampuan berbeda. Dengan demikian, diharapkan murid-muridnya juga akan mempunyai pandangan dan sikap yang sama terhadap mereka yang mempunyai kemampuan berbeda (diffable) itu.
Ada sebelas pengkategorian diffable seperti berikut ini:
1.        Keterbatasan kemampuan dalam belajar (specific learning disabilities)
2.        Gangguan dalam berbicara atau berbahasa (speech or language impairments)
3.        Keterlambatan perkembangan mental (mental retardation)
4.        Gangguan emosi serius (serious emotional disturbance)
5.        Ketidakmampuan ganda (multiple disabilities)
6.        Gangguan pendengaran (hearing impairments)
7.        Gangguan pada susunan tulang (orthopedic impairments)
8.        DF dan buta (deaf-blindness)
9.        Gangguan penglihatan (visual impairments)
10.    Gangguan jiwa
11.    Rasa trauma (traumatic brain injury)
Diskriminasi sering kali menimpakalangan yang lemah secara social, politik dan ekonomi terutama sekali dalam hal ini kalangan diffable. Sayangnya dalam kehidupan sehari-hari kita tidak sadar bahwa apa yang telah kita lakukan adalah merupakan tindakan diskriminatif. Dalam hal ini ada beberapa cara agar tingkah laku dan sikap kita tidak diskriminatif terhadap mereka, antara lain;
1.      Menanamkan kesadaran pada diri kita bahwa mereka yang diffable adalah manusia biasa seperti kita namun karena satu dan lain hal mambuat keadaan mereka tidak seberuntung kita yang normal.
2.      Menanamkan sikap sabar dan telaten
3.      Member semangat dan pujian
4.      Bersikap wajar
5.      Membimbing kea rah positif.
F.      Membangun Pendidikan Inklusi
Sekolah dan kampus adalah tempat dimana diskriminasi terhadap orang-orang yng mempunyai kemampuan berbeda sering terjadi. Diskriminasi ini lebih disebabkan aturan-aturan (undang-undang) serta kebijakan dunia pendidikan yang memisahkan mereka ke dalam dua sekolah yang berbeda. Pada umumnya, dalam dunia pendidikan kita mengenal adanya dua macam sekolah yaitu sekolah; Pertama, sekolah umum, yaitu sebuah sekolah yang mana murid-muridnya non-diffabel (tidak mempunyai gangguan kemampuan fisik maupun mental). Kedua, sekolah khusus, sekolah ini sering disebut juga sebagai Sekolah Luar Biasa (SLB). Ini adalah sekolah khusus bagi murid-murid yang mengalami gangguan kemampuan fisik maupun mental.
Adaya dua model sekolah tersebut, menurut kalangan aktivis hak azasi manusiadan aktivis anti diskriminasi adalah satu bentuk dari diskriminasi terhadap kalangan diffabel, karena dianggap mengisolir mereka. Pemisahan sekolah ini dianggap sebagai hambatan bagi murid yang normal atau yang diffabel untuk saling belajar bagaimana memahami, menghargai, bersikap dan menghormati orang lain yang mempunyai kemampuan berbeda secara langsung di sekolah.
Di sisi lain, pendapat yang berbeda dari para ahli pendidikan menyatakan bahwa penyatuan tersebut justru rentan terhadap munculnya pelecehan-pelecehan dari siswa yang normal terhadap siswa yang kemampuannya berbeda. Di samping itu, sekolah juga harus menyediakan biaya yang lebih besar untuk membayar guru khusus yang bertugas membantu siswa yang mempunyai kemampuan berbeda kenyataan ini merupakan problem tersendiri bagi dunia pendidikan kita, mengingat anggaran pendidikan di Negara ini sangat minim).
Selain itu, kurikulum yang diberikan pun sangat berbeda. Di sekolah umum siswa diajarkan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan, sedangkan di sekolah luar biasa siswa diffabel hanya diajarkanilmu-ilmu praktis saja, seperti; ketrampilan. Pemberian program belajar ini ketrampilan ini dimaksudkan agar diffabel mempunyai ketrampilan untuk kemudian dapat dimanfaatkannya. Perbedaan kurikulum tersebut dinilai oleh sebagian orang merupakan tindakan yang diskriminatif, karena tidak seharusnya mereka dibeda-bedakan dalam mengakses pendidikan.[5]
Melihat kontroversi tersebut, pendidikan multicultural lebih melihat bahwa penyatuan siswa non-diffabel dengan siswa yang diffabel adalah lebih manusiawi dan akan lebih memberikan kesempatan kepada siswa untuk salin belajar secara langsung dalam sebuah “kehidupan nyata” di sekolah tentang bagaimana cara berinteraksi, memahami, bersikap dan menghormati orang lain.
Untuk menghilangkan diskriminasi terhadap diffabel tersebut adalah dengan menyelenggarakan pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi merupakan model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak berkelainan atau cacat dimana penyelenggaraan dipadukan bersama anak normal dan tempatnya di sekolah umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga yang bersangkutan. Melalui pendidikan inklusi ini diharapakan anak yang memiliki keterbatasan kemampuan akan mendapat kesempatan yang sama dengan anak yang dianggap”normal”. Dengan begitu, baik diffabel dan non-diffabel dapat saling menghargai dan saling membantu satu dengan yang lainnya, dan diffabel dapat berinteraksi dengan masyarakat karena hal tersebut dapat membantu perbaikan mental diffable. Dengan diterapkannya pendidikan inklusi tersebut dapat menciptakan kehidupan social yang inklusi yang dapat menerima keterbatasan diffable dengan pandangan yang positif demi terwujudnya keadilan social bagi semua.  




[1] Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 63
[2] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarata: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 168
[3] file:///F:/NET/KU/Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB).htm
[4] M. Ainul Yakin, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hal. 232
[5] Muhammad Yusri, Yulia Riswanti, Muh,Anis, Kependidikan Islam, (Yogyakarta: Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, 2008), hal. 65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar