ANTROPOLOGI
PENDIDIKAN
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Antropologi
dan Sosiologi Pendidikan
Dosen
Pengampu:
Disusun
oleh:
Dian
Mutiarasari
JURUSAN
KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITASA
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011
BAB. I
PENDAHULUAN
Pendidikan
dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran, pemberian pengetahuan,
keterampilan dan sikap melalui pikiran, karakter serta kapasitas fisik dengan
menggunakan pranata-pranata agar tujuan yang ingin dicapai dapat dipenuhi.
Pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga formal dan informal. Penyampaian
kebudayaan melalui lembaga informal tersebut dilakukan melalui enkulturasi
semenjak kecil di dalam lingkungan keluarganya. Dalam masyarakat yang sangat
kompleks, terspesialisasi dan berubah cepat, pendidikan memiliki fungsi yang
sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai satu keseluruhan.
Dengan makin cepatnya perubahan kebudayaan, maka makin banyak diperlukan waktu untuk memahami kebudayaannya sendiri.
Dengan makin cepatnya perubahan kebudayaan, maka makin banyak diperlukan waktu untuk memahami kebudayaannya sendiri.
Hal
ini membuat kebudayaan di masa depan tidak dapat diramalkan secara pasti,
sehingga dalam mempelajari kebudayaan baru diperlukan metode baru untuk
mempelajarinya. Dalam hal ini pendidik dan antropolog harus saling bekerja
sama, dimana keduanya sama-sama memiliki peran yang penting dan saling
berhubungan. Pendidikan bersifat konservatif yang bertujuan mengumpulkan hasil-hasil prestasi
kebudayaan, yang dilakukan oleh pemuda-pemudi sehinga dapat menyesuaikan diri
pada kejadian-kejadian yang dapat diantisipasikan di dalam dan diluar
kebudayaan serta merintis jalan untuk melakukan perubahan terhadap kebudayaan.
BAB. II
ANTROLOGI PENDIDIKAN
(Teori Antrologi Pendidikan)
Antrpologi
pendidikan mulai menampilkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada pertengahan
abad-20. Pada waktu itu banyak pertanyaan yang diajukan kepada tokoh pendidikan
tentang sejauhmana pendidikan dapat mengubah suatu masyarakat. Sebagaimana di
ketahui pada waktu itu negara maju tengah mengibarkan program besarnya, yakni
menciptakan pembangunan di negara-negara yang baru merdeka (hadad,1980).
Antropologi pendidikan berupaya menemukan pola budaya belajar masyarakat
(pedesaan dan perkotaan) yang dapat menciptakan perubahan sosial. Demikian juga
mengenai perwujudan kebudayaan para pengambil kebijakan pendidikan yang
berorientasi pada perubahan sosial budaya mendapat perhatian.
Pada
awalnya Antropologi dipandang sebagai ilmu yang menggambarkan kebudayaan
masyarakat yang ada di luar Eropa. Bahan dasar pembentunkan ilmu itu
dikumpulkan sejak abad ke-18 ketika banyaknya cerita-cerita orang perorangan
yang kebetulan bertemu dengan kelompok suku bangsa yang kehidupannya amat unik
dan bersahaja dalam perspektif bangsa Eropa. Cerita-cerita tersebut diperkuat
dengan perjalanan ilmuan yang mengunjungi masyarakat kelompok tersebut, yang
didukung oleh laporan administrasi pegawai colonial tentang keadaan lingkungan dan adat istiadat bangsa yang berada
dikoloninya. Sejumlah informasi tersebut menjadi sekumpulan data berharga untuk
menjadi bahan analisis ilmuan, termasuk pihak pemerintah colonial untuk
mendorong dilakukannya serangkaian penelitian yang sistematis mengenai
kehidupan bangsa diluar benua Eropa.
A. Pengertian
1. Antropologi
Antropologi
adalah kajian tentang manusia dan cara-cara hidup mereka. Antropologi mempunyai
dua cabang utama, yaitu antropologi yang mengkaji evolusi fisik manusia dan
adaptasinya terhadap lingkungan yang berbeda-beda, dan antropologi budaya yang
mengkaji baik kebudayaan-kebudayaan yang masih ada maupun kebudayaan yang sudah punah. Secara umum antropologi budaya mencakup antropologi
bahasa yang mengkaji bentuk-bentuk bahasa, arkeologi yang mengkaji
kebudayaan-kebudayaan yang masih punah, etnologi yang mengkaji kebudayaan yang
masih ada atau kebudayaan yang hidup yang masih dapat di amati secara langsung.[1]
Antropologi merupakan salah satu cabang ilmu sosial
yang mempelajari tentang budaya
masyarakat suatu etnis
tertentu. Lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa
yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang
dikenal di Eropa. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan
masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal di daerah
yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi
tetapi pada sosiologi lebih menitikberatkan pada masyarakat dan kehidupan
sosialnya.
Antropologi
adalah suatu ilmu yang memahami sifat – sifat semua jenis manusia secara lebih
banyak. Antropologi yang dahulu dibutuhkan oleh kaum misionaris untuk
penyebaran agama Nasrani dan bersamaan dengan itu berlangsung system penjajahan
atas Negara – Negara di luar Eropa, dewasa ini dibutuhkan bagi kepentingan
kemanusiaan yang lebih luas. Studi antropologi selain untuk kepentingan
pengembangan ilmu itu sendiri, di Negara – Negara yang telah membangun sangat
diperlukan bagi pembuatan – pembuatan kebijakan dalam rangka pembangunan dan
pengembangan masyarakat.
Sebagai
suatu disiplin ilmu yang sangat luas cakupannya, maka tidak ada seorang ahli
antropologi yang mampu menelaah dan menguasai antropologi secara sempurna.
Demikianlah maka antropologi dipecah – pecah menjadi beberapa bagian dan para
ahli antropologi masing – masing mengkhususkan diri pada spesialisasi sesuai
dengan minat dan kemampuannya untuk mendalami studi secara mendalam pada bagian
– bagian tertentu dalam antropologi. Dengan demikian, spesialisasi studi
antropologi menjadi banyak, sesuai dengan perkembangan ahli – ahli antropologi
dalam mengarahkan studinya untuk lebih mamahami sifat – sifat dan hajat hidup
manusia secara lebih banyak.[2]
2.
Sejarah Perkembangan
Antropolgi
Tahap
pertama, antropologi muncul ketika orang pribumi di Asia, Afrika
dan Amerika didatangi oleh orang Eropa. Orang Eropa tertarik kepada orang
pribumi karena kebudayaan orang Eropa sangat berbeda dengan kebudayaan orang
pribumi.
Tahap
kedua, antropopologi telah berkembang dengan tujuan utama untuk
mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk
mendapat suatu pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam sejarah dan
evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
Tahap
ketiga, pada fase perkembangan ketiga ini, antroplogi menjadi suatu
ilmu yang praktis, dengan tujuannya adalah mempelajari masyarakat dan
kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan kolonial dan guna
mendapat suatu pengertian tentang masyarakat masa kini yang kompleks.
Tahap
keempat, antropologi mengalami masa perkembangan yang paling luas,
baik mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh lebih teliti maupun
mengenai ketajaman dari metode-metode ilmiahnya. Pada masa perkembangan ini,
antropologi mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis.
Tujuan akademis dari ilmu ini
adalah mencapai pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan
mempelajari aneka warna bentuk fisiknya, masyarakat serta kebudayaan, sedang tujuan praktis dari ilmu antropologi
adalah mempelajari manusia dalam aneka warna masyarakat suku bangsa guna
membangun masyarakat suku bangsa itu.
Dari tahap-tahap perkembangan ilmu antropologi tampak bahwa sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang lain ilmu pengetahuan antroplogi pun terus mengalami perkembangan. [3]
Dari tahap-tahap perkembangan ilmu antropologi tampak bahwa sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang lain ilmu pengetahuan antroplogi pun terus mengalami perkembangan. [3]
Pada
tahap awal sejarah perkembangannya, antropologi hanya bersifat deskripsi, kemudian dalam perkembangannya
bahasan/ulasan antropologi disertai penjelasan atas dasar analisis dari
interaksi antara manusia dengan kebudayaannya. Di samping itu, antropologi
mempunyai perhatian utama adanya perbedaan dan persamaan (keanekawarnaan)
berbagai manusia (ras) dan budaya di muka bumi.
3.
Konsep
Evolusi Manusia dalam Ilmu Biologi
Dalam
tahun 1858 ahli biologi C. Darwin (1809-1882) memberikan ceramah yang
disponsori oleh perhimpunan Linnean di London, dan setahun kemudian terbitlah
bukunya The Origin Of Species (1859).
Pendirian yang diajukan dalam ceramah dan buku itu adalah bahwa semua bentuk
hidup dan jenis makhluk yang kini ada di dunia itu, dengan dipengaruhi oleh
berbagai macam proses alamiah, berevolusi atau berkembang sangat lambat dari
bentuk-bentuk yang sangat sederhana (yaitu makhluk-makhluk satu sel) menjadi
beberapa jenis baru yang komplek. Makhluk-makhluk jenis baru itu masing-masing
berevolusi juga menjadi jenis-jenis baru yang bertambah kompleks lagi, dan
demikian seterusnya hingga dalam jangka waktu beratus-ratus juta tahun
terjadilah jenis-jenis makhluk yang paling kompleks seperti kera dan manusia.
Orang
awam di Eropa Barat mula-mula sangat menentang pendirian tadi, dan walaupun
sudah ada berbagai tulisan mengenai proses sejarah evolusi masyarakat manusia
pada waktu itu, tetapi gagasan mengenai jenis-jenis evolusi belum dapat
diterima. Hal itu di karenakan pada pertengahan abad ke-19 di Eropa ada suatu
pembangkitan dan pengetatan kembali dari kehidupan keagamaan, dan
gagasan-gagasan seperti gagasan Darwin itu di anggap gagasan orang kafir yang
bertentangan dengan keyakinan ke agamaan
yang mengatakan bahwa semua jenis mahkluk di dunia (termasuk manusia),
merupakan hasil ciptaan Tuhan yang mutlak. Kecuali itu gagasan bahwa manusia
dan kera merupakan keturunan dari suatu makhluk yang sama, bahkan bahwa manusia
adalah keturuna Kera , merupakan gagasan yang awam terlampau sulit untuk di
terima.
Di
samping C. Darwin ada pula ahli biologi lain, yaitu A. Wallace (1823-1913) yang
secara terpisah dari Darwin[4]
telah juga mengembangkan gagasan tentang evolusi mahkluk di dunia yang sama,
walaupun Wallace lebih memperluas soal proses seleksi alam dalam penentuan
bentuk fisik dari jenis-jenis yang baru dalam proses evolusi. Darwin hanya
menyebut mengenai seleksi alam itu secara sepintas lalu dalam ceramahnya.[5]
Pada dasarnya memang tidak ada perbedaan antara teori mengenai proses evolusi
dari kedua ahli biologi itu, kedua-duanya berpendirian bahwa di antara
individu-individu dalam satu jenis mahluk selalu ada perbedaan-perbedaan kecil.
Beberapa individu yang lemah kurang dapat bertahan terhadap tekanan-tekanan alam,
lalu mati, sedangkan individu-individu yang lebih kuat dapat bertahan dan hidup
langsung. Melahirkan keturunan dan mewariskan sifat-sifatnya yang kuat tadi
kepada sebagian dari keturunannya. Dalam generasi berikutnya proses tadi berulang
lagi, demikian seterusnya. Menurut Wallace, semakin kejam dan keras tekanan
alamnya maka semakin tinggi pula mutu yang menjadi syarat bagi organisme
individu-individu dari suatu jenis yang memiliki sifat-sifat yang dapat
memenuhi syarat-syarat alamiah itulah yang dapat bertahan untuk hidup terus.
Inilah yang oleh Darwin maupun Wallace disebut “seleksi alam”[6].
4.
Ilmu-ilmu
Bagian dari Antropologi
Di
universitas-universitas Amerika, tempat antropologi telah mencapai perkembangan
yang paling luas, ruang lingkup dan batas lapangan perhatian yang luas itu
menyebabkan adanya tidak kurang dari lima masalah penelitian khusus, yaitu[7]:
a.
Masalah sejarah
asal dan perkembangan manusia (atau evolusinya) dipandang dari segi biologi.
b.
Masalah sejarah
terjadinya berbagai ragam manusia, dipandang dari ciri-ciri tubuhnya.
c.
Masalah sejarah
asal, perkembangan, serta penyebaran berbagai macam bahasa diseluruh dunia.
d.
Masalah
perkembangan, penyebaran, dan terjadinya beragam kebudayaan di dunia.
e.
Masalah mengenai
asas-asas kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat-masyarakat suku bangsa
di dunia.
Lapangan-lapangan
penelitian yang bermaksud memecahkan kelima masalah tersebut di atas sangat
luas sehingga untuk setiap masalah (yang merupakan ilmu bagian dari
antropologi) diperlukan ahli-ahli yang khusus pula.
5. Objek Studi dan Pengamatan Antropologi
Objek studi
antropologi dapat dipilah menjadi dua, yaitu objek
material dan objek formal. Objek material adalah sasaran yang menjadi
perhatian dalam penyelidikan. Mengingat lingkup pelajaran antropologi manusia
dan budaya, maka sasaran penyelidikan sebagai objek material sangat
luas.[8]
Sasaran penyelidikan yang banyak tersebut pada umumnya juga menjadi sasaran
penyelidikan ilmu pengetahuan sosial lainnya: maka objek formallah yang membedakan
ciri ilmu pengetahuan antropologi dengan yang lain. Yang dimaksud objek
formal adalah cara pendekatan dalam penyelidikan terhadap objek yang sedang
menjadi pusat perhatiannya.
Ada tiga cara pendekatan
dalam ilmu antropologi, yaitu:
Pertama, pengumpulan fakta. Dalam pengumpulan fakta di sini terdiri
dari berbagai metode observasi, mencatat, mengolah dan melukiskan fakta-fakta
yang terjadi dalam masyarakat hidup. Sedangkan metode-metode pengumpulan fakta
dalam ilmu ini adalah penelitian di lapangan (utama), dan penelitian
perpustakaan.
Kedua, penentuan
ciri-ciri umum dan sistem. Hal ini adalah tingkat dalam cara berpikir
ilmiah yang bertujuan untuk menentukan ciri-ciri umum dan sistem dalam himpunan
fakta yang dikumpulkan dalam suatu penelitian. Adapun ilmu antropologi yang
bekerja dengan bahan berupa fakta-fakta yang berasal dari sebanyak mungkin
macam masyarakat dan kebudayaan dari seluruh dunia, dalam hal mencari ciri-ciri
umum di antara aneka warna fakta masyarakat itu harus mempergunakan berbagai
metode membandingkan atau metode komparatif. Adapun metode komparatif itu
biasanya dimulai dengan metode klasifikasi.
Ketiga, verifikasi.
Dalam kaitan ini, ilmu antropologi menggunakan metode verifikasi yang bersifat
kualitatif. Dengan mempergunakan metode kualitatif, ilmu ini mencoba memperkuat
pengertiannya dengan menerapkan pengertian itu dalam kenyataan beberapa
masyarakat yang hidup, tetapi dengan cara mengkhusus dan mendalam.
B.
Antropologi Pendidikan
G.D. Spindler
berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap
pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah
diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang
berbeda-beda dalam lingkungan social budayanya.[9]
Teori khusus dan percobaan yang terpisah tidak akan menghasilkan disiplin
antropologi pendidikan. Pada dasarnya, antropologi pendidikan mestilah
merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktek pendidikan
dalam prespektif budaya, tetapi juga tentang asumsi yang dipakai antropolog
terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan oleh praktek-praktek
pendidikan. (Imran Manan, 1989)
Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Dimana para pendidik harus melakukan secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik, sukar untuk dibandingkan sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif. Setiap penyelidikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga dan mempengaruhi pendidikan.
Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Dimana para pendidik harus melakukan secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik, sukar untuk dibandingkan sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif. Setiap penyelidikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga dan mempengaruhi pendidikan.
Antropologi
pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan yang terpisah dengan
kajian yang sistematis mengenai praktek pendidikan dalam perspektif budaya,
sehingga antropolog menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah benda budaya
yang menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing masyarakat. Namun ada kalanya
sejumlah metode mengajar kurang efektif dari media pendidikan sehingga sangat
berlawanan dengan data yang didapat di lapangan oleh para antropolog. Tugas
para pendidik bukan hanya mengeksploitasi nilai kebudayaan namun menatanya dan
menghubungkannya dengan pemikiran dan praktek pendidikan sebagai satu
keseluruhan.
Antropologi
pendidikan mulai menampakkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada pertengahan
abab ke-20. Pada waktu itu banyak pertanyaan yang diajukan kepada tokoh
pendidikan tentang sejauhmana pendidikan dapat mengubah suatu masyarakat.
Sebagaimana diketahui pada waktu itu Negara maju tengah mengibarkan program
besarnya, yakni menciptakan pembangunan di Negara-negara yang baru merdeka
(Hadad, 1980). Antropologi pendidikan berupaya menemukan pola budaya belajar
masyarakat (pedesaan dan perkotaan) yang dapat merubah perubahan social.
Demikian juga mengenai perwujudan kebudayaan
para ahli mengambil kebijakan pendidikan yang berorientasi pada perubahan
social budaya mendapat perhatian. Konferensi pendidikan antropologi yang
berorientasi pada perubahan social di Negara-negara baru khususnya melalui
pendidikan persekolahan mulai digelar. Hasil-hasil kajian pendidikan dipersekolahan melalui
antropologi diterbitkan pada tahun 1954 dibawah redaksi G.D. Spindler (1963). [10]
Konferensi
memberi rekomendasi untuk melakukan serangkaian penelitian antropologi
pendidikan di persekolahan, mengingat jalur perubahan social budaya salah
satunya dapat dilakukan dengan melalui pendidikan formal. Banyak penelitian
menunjukan bahwa system pendidikan di Negara-negara baru diorientasikan untuk
mengokohkan kelompok social yang tengah bekuasa.
Antropologi
Pendidikan sebagai disiplin kini banyak di kembangkan oleh para ahli yang
menyadari pentingnya kajian budaya pada suatu masyarakat. Antropologi di
negara-negara maju memandang salah satu persoalan pembangunan di Negara
berkembang adalah karena masalah budaya belajar. Kajian budaya belajar kini
menjadi perhatian yang semakin menarik, khususnya bagi para pemikir pendidikan
diperguruan tinggi. Perhatian ini dilakukan dengan melihat kenyataan lemahnya
mutu sumber daya manusia yang berakibat terhadap rentannya ketahanan social
budaya masyarakat dalam menghadapi krisis kehidupan.
Orientasi
pengembangan budaya belajar harus dilakukan secara menyeluruh yang
menghubungkan pola budaya belajar yang ada di dalam lingkungan masyarakat dan
lembaga pendidikan formal. Van Kemenade (1969) telah mengingatkan: “persoalan
pendidikan jangan hanya dianggap melulu
persoalan pedagogis didaktis metodis dan tidak menjadi masalah kebikajan
social, sehingga pendidikan tidak ada lagi menjadi kebutuhan bersama. Untuk itu
perlu analisa empiric tentang tugas pendidikan
dalam konteks kehidupan masyarakat”[11].
Pendekatan dan
teori antropologi pendidikan dapat dilihat dari dua kategori. Pertama, pendekatan teori antopologi
pendidikan yang bersumber dari antropologi budaya yang ditujukan bagi perubahan
social budaya. Kedua, pendekatan
teori pendidikan yang bersumber dari filsafat.
Teori
antropologi pendidikan yang diorientasikan pada perubahan social budaya
dikategorikan menjadi empat orientasi[12]:
a.
Orientasi
teoritik yang focus perhatiannya kepada keseimbangan secara statis. Teori ini
merupakan bagian dari teori-teori evolusi dan sejarah.
b.
Orientasi teori
yang memandang adanya keseimbangan budaya secara dinamis. Teori ini yang
menjadi penyempurna teori sebelumnya, yakni orientasi adaptasi dan tekno-ekonomi
yang menjadi andalanya
c.
Orientasi teori
yang melihat adanya pertentangan budaya yang statis, dimana sumber teori dating
dari rumpun teori structural.
d.
Orientasi teori
yang bermuatan pertentangan budaya yang bersifat global atas gejala
interdependensi antar Negara, dimana teori multicultural termasuk didalamnya.
C.
Konsep
Budaya Belajar Pendidikan Antropologi
Budaya atau
kebudayaan tidak hanya berupa fenomena yang berwujud material semata, baik yang
berupa benda, tindakan ataupun emosi, melainkan sesuatu yang abstrak yang
terdapat dalam pikiran manusia, yaitu berupa model system pengetahuan manusia
yang digunakan oleh pemiliknya untuk menafsirkan benda, tindakan dan emosi
(Geodenough dalam Spradley, 1972). Tegasnya kebudayaan diartikan sebagai
keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosio budaya yang digunakan
untuk memahami dan menginterpretasikan pengalaman, lingkungannya yang menjadi
kerangka landasan untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya kelakuan
(Suparlan: 1980). Berdasarkan konsep tersebut, maka budaya belajar juga
dipandang sebagai model-model pengetahuan manusia mengenai belajar yang
digunakan oleh individu atau kelompok social untuk menafsirkan benda, tindakan
dan emosi dalam lingkungannya.
Cara pandang
budaya belajar sebagai system pengetahuan mengisyaratkan bahwa, budaya belajar
merupakan “pola kelakuan manusia yang berfungsi sebagai blueprint (pedoman hidup) yang dianut secara bersama” (Keesing
& Keesing, 1971). Sebagai sebuah pedoman, budaya belajar digunakan untuk
memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, yang dapat
menciptakan dan mendorong individu-individu bersangkutan melakukan berbagai
macam tindakan dan pola tindakan yang sesuai dengan kerangka aturan yang telah
digariskan bersama.
Budaya belajar
dapat menjadi piranti proses adaptasi manusia dengan lingkungannya, baik berupa
lingkungan fisik maupun lingkungan social. System pengetahuan belajar digunakan
untuk adaptasi dalam kerangka memenuhi tiga syarat kebutuhan hidup, yakni:
1)
Syarat
dasar alamiah, yang berupa kebutuhan biologis, seperti
pemenuhan kebutuhan makan, minum, menjaga stamina, menjadikan organ-organ tubuh
manusia lebih berfungsi
2)
Syarat
kejiwaan, yakni pemenuhan kebutuhan akan perasaan tenang,
jauh dari perasaan takut, keterkucilan, kegelisahan dan berbagai kebutuhan
kejiwaan lainnya
3)
Syarat
dasar social, yakni kebutuhan untuk berhubungan dengan
orang lain, dapat melangsungkan hubungan, dapat mempelajari kebudayaan, dapat
mempertahankan diri dari serangan musuh. (Suparlan, 1980, Bennet, 1976: 172)
Lebih lanjut
Bunnet (1976) menjelaskan, bahwa adaptasi adalah upaya menyesuaikan dalam arti
ganda, yakni manusia belajar menyesuaikan kehidupan dengan lingkungannya, atau
sebaliknya manusia belajar agar lingkungan yang dihadapi dapat disesuaikan
dengan keinginan dan tujuannya. Pada kenyataannya manusia memang tidak hanya
sekedar menerima lingkungan dengan apa adanya, melainkan belajar untuk
menanggapi bergabai masalah yang ada di
lingkungannya. Oleh karena itu, pada suatu lingkungan masyarakat terdapat ragam
bentuk tindakan belajar individu atau kelompok yang pada dasarnya terdorong
oleh sikap adaptif mereka. Upaya manusia melakukan belajar menyesuaikan dengan
lingkungannya senantiasa berhubungan dengan pranata social, psikologis, ekonomi
dan juga fisik nya. (Montagu, 1969, Smith, 1982: 85-89).
Dalam kaitannya
itu, maka budaya belajar dapat dipandang juga sebagai strategi adaptasi yang
berupa model-model pengetahuan belajar yang mencakup serangkaian aturan,
petunjuk, resep-resep, rencana, strategi yang dimiliki dan digunakan oleh
individu pembelajar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya(spradley,
1972). Resep-resep tersebut berisikan pengetahuan belajar yang dapat digunakan
untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan dan tata cara yang digunakan untuk mencapai
tujuan dengan sebaik-baiknya.
Pendidikan
sebagai pranata social selalu berbeda dalam tatanan system social masyarakat
pendukungnya, yang memiliki kedudukan penting yang relative sama dengan pranata
keluarga, agama dan pemerintahan dalam menentukan tata kelakuan seseorang dan
kelompok. Oleh karena itu kepribadian seseorang adalah produk dari budaya
masyarakat pendukung kebudayaan itu.
D.
Pranata
Pendidikan (Ragam dan Fungsi)
Pranata social
yang ada dalam masyarakat pada umumnya memilki hubungan antara satu dengan yang
lainnya, bahkan untuk fungsi tertentu sering terjadi tumpang tindih. Kadang
kala pranata tertentu seolah-olah memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan
dengan lainnya, serta dalam kenyataannya dikesankan memiliki pengaruh yang kuat
pula bagi lembaga lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan tingkat kesempurnaan dan
keseimbangan antara pranata keluarga, pemerintahan, agama, ekonomi dan
pendidikan.
Setiap pranata
memiliki symbol tersendiri yang satu sama lain memiliki keterkaitan. Secara
substansif pengenal utama setiap pranata dapat dilihat dari adanya symbol
budaya, symbol perilaku dan simbul ideology. Simbul budaya adalah lambang yang
dipergunakan untuk mengenal keberadaan suatu pranata. Symbol bisa dalam bentuk
benda maupun bukan. Bendera, lagu kebangsaan dan logo dipergunakan sebagai
penanda suatu pranata. Role of couduck merupakan aturan perilaku baik yang
formal dan tradisi informal untuk menjamin perilaku agar tidak terjadi
penyimpangan. Ideology yaitu pengikat suatu kelompok. Ideology memberikan
aturan dalam bidang social, moral, ekonomi dan politik untuk kelompok tertentu
yang umumnya diterima bersama oleh lembaga yang bersangkutan.
Dalam konteks
transmisi kebudayaan, diperlukan piranti tertentu. Piranti ini adalah berbagai
institusi social, baik pada lingkungan keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan
sekolah dan juga media masa sebagai penyalur informasi.
1)
Lingkungan
Pendidikan Keluarga
Lingkungan
keluarga adalah unit social terkecil yang memiliki peran penting dalam
internalisasi. Proses identifikasi dalam keluarga menjadikan seorang anak dapat
mengenal keseluruhan anggota keluarganya, baik saudara terdekat maupun saudara
jauh. Seorang ayah yang berperan sebagai kepala keluarga dikenalnya melalui
tindakan-tindakannya. Demikian pun kegiatan ayah dalam pekerjaan sehari-hari
memungkinkan terjadinya identifikasi (bentuk peniruan) oleh anak-anaknya. Upaya
peniruan yang pada mulanya dilakukan sambil lalu ini, secara perlahan akan
menjadi bagian dalam transmisi buadaya. Para orang tua berfungsi sebagai nara
sumber utama.
Secara tersirat
budaya belajar dari peniruan, baik secara individual maupun kelompok
memungkinkan terjadinya pemahaman utuh antar genersi (orang tua versus anak).
Lingkungan keluarga menjadi salah satu focus
kajian antropologi pendidikan. Terutama mengenai system kebudayaan. Di dalam
keluarga itulah suatu generasi dilahirkan dan dibesarkan. Mereka mendapat
pelajaran pertama kali, apalagi bagi masyarakat yang belum mengenal dan
menciptakan lingkungan pendidikan formal. Dalam lingkungan keluarga terdapat
tiga fungsi utama dalam keluarga, yaitu: (1) fungsi seksual; (2) fungsi
ekonomi; (3) fungsi edukasi.
Fungsi eduksi
berkaitan dengan pewarisan budaya. Keluarga bukan hanya sebagai tempat
melahirkan anak, tetapi sekaligus sebagai tempat membesarkannya. Anak dalam
lingkungan keluarga belajar berbahasa, mengumpulkan berbagai pengertian serta
belajar menggunakan nilai yang berlaku dalam kebudayaan. Dengan demikian,
keluarga berfungsi meneruskan nilai budaya yang dimilikinya. Suasana edukasi
berlangsung penuh kasih sayang, keakraban dan penuh tanggung jawab. Dengan kata
lain kegiatan edukasi dilakukan secara terus-menerus dengan berbagai cara baik.
Inti dari proses pewarisan budaya dalam
keluarga adalah terjadinya interaksi penuh makna dalam suasana informal. Proses
pewarisan budaya di lingkungan keluarga telah banyak mendapat perhatian
antropolog. Seperti yang dilakukan oleh Margaret Mead, yang meneliti adat
istiadat pengasuhan anak-anak di masyarakat Manus (sebelah utara irian).
Bersama F. Cooke Mac Gregor. Med mengadakan penelitian tentang gerak-gerak
tubuh anak-anak Bali, yang kemudian hasilnya dibukukan dengan judul Growth and Culture (1951).
2)
Lingkungan
Pendidikan Masyarakat
J.P Gillin
(1951) mengartikan masyarakat sebagai sekelompok manusia yang tersebar, dan
yang memiliki kebiasaan, tradisi, sikap dan peranan untuk hidup bersama.
Masyarakat terdiri atas kesatuan-kesatuan yang paling kecil. Pada prinsipnya
suatu masyarakat terwujud apabila diantara kelompok individu tersebut telah
lama melakukan kerja sama serta hidup bersama secara menetap. System perwarisan
budaya lewat lingkungan masyarakat berlangsung dalam berbagai pranata social,
diantaranya pemilihan hak milik, perkawinan, religi, system hokum, system
kekerabatan, dan system edukasi. Sebagai suatu komunitas yang lebih luas,
masyarakat memiliki struktur.
Pewarisan budaya menjadi tugasbersama bagi seluruh
anggota masyarakat di lingkungannya. Bila seorang anak melakukan hubungan
pertemanan, maka hubungan atau interaksi social itu menunjukan hubungan yang
lebih luas. Mereka akan menerima berbagai pembelajaran nilai dan norma,
memperlakukan orang lain, menghormati orang yang lebih tua, dan sebagainya.
Mereka juga menyerap berbagai pengetahuan dari lingkungan, mendapatkan
bimbingan, dan nilai-nilai lain yang berkembang pada masyarakatnya. Pada saat
anak melakukan kekeliruan, maka anggota masyarakat lainnya akan memberikan
nasihat atau koreksi terhadap perilakunya yang tidak sesuai tersebut. Demikian
selanjutnya seorang anak diberi pelajaran dan bimbingan oleh anggota masyarakat
lainnya.
3)
Lingkungan
Pendidikan sekolah
Sekolah adalah
institusi yang diciptakan oleh masyarakat yang berfungsi untuk melaksanakan
pembelajaran. Pembelajaran tidak hanya menyampaikan pengetahuan saja yang
berupa latihan untuk kecerdasan, melainkan untuk menghaluskan moral dan
menjadikan akhlak yang baik. Sekolah dalam masyarakat dikategorikan sebagai
pendidikan formal. Pada dasarnya lembaga sekolah berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan hidup masyarakat dibidang pembelajaran. Kebutuhan masyarakat tentang
pembelajaran semakin hari semakin banyak. Oleh karena itu, sekolah pada
dasarnya menyiapkan dan membekali peserta didik untuk kehidupan di masa yang
akan datang.
Pendidikan di
sekolah dalam kerangka pewarisan budaya jelas sekali arahnya. Para pendidik
yang bertugas sebagai guru melakukan penyampaian pengetahuan dan interaksi
moral itu berdasarkan rancangan atau program yang disesuaikan dengan system
pengetahuan dan nilai-nilai yang dianaut oleh masyarakat. Misalnya dalam mata
pelajaran agama yang senantiasa harus diajarkan di berbagai tingkatan dan
jenjang pendidikan di sekolah. Hal itu merupakan cermin dari masyarakat
Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Proses pewarisan
budaya di sekolah dilakukan secara bertahap, terencana dan terus menerus. Cara
pewarisan melalui lembaga sekolah ini hanya berlaku bagi masyarakat yang kebudayaannya
kompleks. Di Indonesia, meskipun suku bangsa masih belum dapat dijangkau
mengingat letak geografisnya yang terpencil, namun pendidikan formal ini
diupayakan untuk dapat dilaksanakan, misalnya dengan pola guru kunjung. Lebih
dari itu, pemerintah Indonesia telah merencanakan adanya program Wajib Belajar
Sembilan tahun (Pendidikan Dasar dan Sekolah Menengah Pertama) yang wajib
diikuti oleh semua warga Indonesia yang berumur 7 sampai 15 tahun.
4)
Lingkungan
Pendidikan Media Massa
Media massa
adalah bagian dalam masyarakat yang bertugas menyebarluaskan berita, opini,
pengetahuan dan sebagainya. Sifat media massa adalah mencari dan mengolah bahan
pemberitaan yang actual, menarik perhatian, dan menyangkut kepentingan bersama.
Berdasarkan sifatnya, media massa berfungsi sebagai control social terhadap
segala bentuk penyimpangan dari nilai, norma, dan aturan yang berlaku di
masyarakat. Dengan pemberitaan yang baik dan benar masyarakat menjadi tahu
terhadap setiap peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar.
Salah
satu fungsi media massa adalah fungsi pendidikan bagi masyarakat. Banyaknya
informasi yang diberikan, baik berupa pendapat-pendapat, masalah social budaya
secara langsung maupun tidak dapat memperluas wawasan para pembacanya. Melalui
media massa terjalin hubungan atau kontak social secara tidak langsung antar
anggota masyarakat. Keseluruhan itu menunjukan besarnya peran media massa dalam
proses transformasi budaya bagi seluruh anggota masyarakat.
E. Aplikasi
Pendidikan Antropologi bagi Pendidikan Multikulturan
Bagi pendidik
persoalan pendidikan multicultural merupakan sesuatu yang sensitive dalam
pengertian isu yang kompleks dan unik yang mesti diantisipasi. Dalam kaitannya
dengan menumbuhkan kesadaran terhadap keberagaman ini, secara dini harus
terjadi suasana saling memahami melalui interaksi yang bermakna anatr satu
dengan yang lainnya. Dengan memperhatikan keragaman sebagai bagian dari
lingkungan dan perilaku yang dibentuk oleh budaya, maka pembelajaran seyogyanya
berpusat pada keragaman latar sosiobudaya.
Berdasarkan pandangan
ini, beberapa prinsip yang perlu diperhatikan oleh seorang pendidik antara
lain:
1.
Penyelenggaraan
pendidikan bertumpu pada kesadaran adanya keberagaman
2.
Memahami dan
mengenai pengalaman setiap individu peserta didik berdasarkan pada etnis dan
keturunan, dst.
3.
Orientasi
pelayanan bertolak dari kondisi keberagaman menuju keberasamaa.
4.
Kiat
mempromosikan perbedaan yang ditujukan untuk membangun kesamaan dan tidak
memperbesar perbedaan.
5.
Memahami peran
organisasi termasuk pengusaha dan profesi sebagai sumber belajar potensial
dalam pelaksanaan dan peningkatkan proses pembelajaran, pendidikan dan
pelatihan.
Pendidikan
multicultural tidak hanya dimaksudkan memberikan akses kepada kelompok etnik
dan minoritas untuk memperoleh akses pendidikan secara baik. Tetapi menciptakan
interaksi antara individu dari kelompok tersebut agar tercipta harmoni
kehidupan dalam masyarakat plural. Melalui pendekatan pendidikan multicultural
akan tercipta :
a.
Saling memahami
perbedaan sosiobudaya.
b.
Menciptakan
harmoni kehidupan dalam suasana berbeda budaya, sebab kesadaran bagaimana
mengelola keragaman sosiobudaya untuk harmoni kehidupan dalam masyarakat plural
telah muncul sejak tahun 1900.
BAB. III
KESIMPULAN
Antropologi adalah
kajian tentang manusia dan cara-cara hidup mereka. Antropologi mempunyai dua
cabang utama, yaitu antropologi yang mengkaji evolusi fisik manusia dan
adaptasinya terhadap lingkungan yang berbeda-beda, dan antropologi budaya yang
mengkaji baik kebudayaan-kebudayaan yang masih ada maupun kebudayaan yang sudah punah.
Antropologi
pendidikan mulai menampakkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada pertengahan
abab ke-20.
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim.
Ilmu dan Aplikasi Pendidikan
(Bandung: PT. IMTIMA 2007).
Koenjaraningrat.
Sejarah Teori Antropologi” (Jakarta:
Universitas Islam, 1982).
Koentjaraningrat. Pengantar
Ilmu Antropologi(Jakarta, PT Rineka Cipta, 2009).
Manan,Imanan. Antropologi
Pendidikan, (Jakarta, P2LPTK, 1989.
[1] Kebudayaan dan masyarakat saling mengisi, sebab tanpa hidup bersama
manusia-manusia tidak mungkin menciptakan suatu kebudayaan atau “way of life”
dan tanpa way of life mereka tidak dapat hidup bersama. Saya dalam waktu pendek
akan mendifinisikan dan membedakan kerbudayaan dan masyarakat.
[2] Ibrahim, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Bandung: PT. IMTIMA 2007) hlm: 255.
[3]
http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi
[4] Wallace sendiri mengakui bahwa
Darwin yang lebih dulu membulatkan konsepsinya tentang evolusi biologi.
[5] Darwin sudah membulatkan teorinya
dalam tahun 1844, tetapi hubungan korespendensi anatar Darwin dan Wallace baru
timbul dalam tahun 1858.
[6] Koenjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi” (Jakarta:
Universitas Islam, 1982), hlm: 22-23.
[7] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi(Jakarta, PT
Rineka Cipta, 2009), hlm: 10.
[9] Spindler, Op,Cit, hlm: 13.
[10] Imanan Manan, Antropologi Pendidikan, (Jakarta,
P2LPTK, 1989) Hlm: 13.
[11] Ibrahim, Op. Cit. Hlm: 256.
[12] Ibrahim, Op.
Cit. hlm: 260.
trimakasih ini membantu saya. . :)
BalasHapusthx infony sis...
BalasHapusthank
BalasHapusterimakasih saudara..
BalasHapus